a.
Pemerolehan
pengetahuan menurut pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, seorang penganut paham
behavioristik, (dalam Orton, 1991:39; Resnick, 1981:12) mengatakan bahwa belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R)
yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi dasar terjadinya belajar menurut pandangan psikologi behavioristik
adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, Hudojo
(1990:14) mengataan bahwa teori ini sering disebut dengan teori asosiasi.
Thorndike, (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) selanjutnya mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan –yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Berdasarkan petikan-petikan diatas, dapat disimpulkan
bahwa menurut psikologi behavioristik, pengetahuan diperoleh karena
adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1998:4) bahwa pengetahuan seseorang itu
diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini
digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi.
b.
Pemerolehan
pengetahuan menurut pandangan Psikologi Gestaltik
Psikologi Gestaltik dikembangkan di Eropa sekitar tahun
1920an. Psikologi ini dibangun dari data hasil experimen yang tidak dapat
dijelaskan oleh Psikologi Behavioristik. Jadi dapat dipahami jika cara
pemerolehan pengetahuan menurut psikologi gestaltik ini berbeda secara mendasar
dengan cara pemerolehan psikologi behavioristik.
Psikologi Gestaltik menganggap penting adanya proses
berpikir dalam belajar. Kohler (dalam Orton, 1991:89) mengatakan bahwa berpikir
bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu
ia adalah pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir
menurut prinsip-prinsip tertentu. Seorang penganut paham Gestalt yang lain,
Katona, berhasil membuktikan dengan serangkaian peneletiannya bahwa belajar
bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur (hasil asosiasi stimulus-respon),
tetapi juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi
lebih sederhana (Resnick & Ford, 1981: 143-144).
Pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk
menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai
keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan
sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89). Penganut
psikologi gestaltik berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang
secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi
bagian maka strukturnya tidak jelas.
Bisa disimpulkan bahwa menurut pandangan psikologi
gestaltik, pengetahuan dapat diperoleh melalui sensasi atau informasi yang dipandang
secara menyeluruh kemudian disusun kembali menjadi sesuatu yang lebih sederhana
sehingga lebih mudah dipahami.
c.
Pemerolehan
pengetahuan menurut pandangan Psikologi Konstruktivistik
Matthews (dalam Suparno, 1997)
secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua, yaitu
konstruktivisme psikologi dan sosiologi. Kemudian konstruktivisme
psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme radikal, yang
lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini dianut oleh
Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial,
yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky.
Ernest (1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu
konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak
constructivism). Selanjutnya, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah
konstruktivisme psikologi/radikal yang dipelopori oleh Piaget karena mempunyai
perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior.
Perbedaan mendasar itu bisa
terlihat dari pendapat Piaget. Piaget tidak sependapat dengan pendapat penganut
psikologi behavior bahwa pengetahuan dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan
stimulus-respon. Ini berarti bahwa seorang pebelajar hanya bersifat pasif,
menunggu ilmu yang diberikan oleh guru. Piaget menganalogikan proses belajar
seperti itu dengan proses menuangkan air dalam bejana. Piaget beranggapan bahwa
pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seorang
pebelajar terhadap lingkungan.
Piaget mengatakan bahwa pikiran manusia mempunyai struktur yang
disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur
kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan
mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui
proses asimilasi dan akomodasi. Kata-kata
mengadaptasi dan mengkoordinasi ini menunjukkan keaktifan seorang pebelajar. Selanjutnya,
Piaget (dalam Bell, 1981: Stiff dkk., 1993) berpendapat bahwa skemata
yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi
itulah yang disebut pengetahuan.
Asimilasi merupakan proses kognitif yang
dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb)
atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah
dimiliki seseorang. Asimilasi dilakukan sebagai bentuk adaptasi atas informasi
atau pengalaman baru tersebut sehingga terbentuklah pengetahuan baru.
Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai
akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung
diasimilasikan pada skemata tersebut. Akomodasi dilakukan karena informasi baru
tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah
ada. Jika informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang
lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu.
Namun, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemata yang telah
ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan
informasi baru itu.
Dengan kalimat lain, pandangan
Piaget di atas dapat dijelaskan bahwa apabila suatu informasi (pengetahuan)
baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata
(sruktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi
melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan
apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur
kognitif yang sudah ada maka akan terjadi disequilibrium, kemudian
struktur kognitif tersebut direstrukturisasi agar dapat disesuaikan dengan
pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga
pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi
pengetahuan skemata baru.
Proses asimilasi dan asosiasi merupakan aktivitas mental yang hakikatnya
adalah proses interaksi antara pikiran dan realita. Seseorang
menstruktur hal-hal yang ada dalam pikirannya, namun bergantung pada realita
yang dihadapinya. Jadi adanya informasi dan pengalaman baru sebagai
realita mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama yang
disebut proses asimilasi-akomodasi sehingga terbentuk pengetahuan baru sebagai
skemata dalam pikiran sesorang.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut
pandangan konstruktivisme, pengetahuan itu diperoleh secara individu
yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi
dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial (realita).
No comments:
Post a Comment